RSS

Persaudaran Muslim (Renungan)

0 komentar

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgP_Zk_OSIv2pgOAdAV8aQKxF8HbhFtUNjP6OnS8gOwfvqYPlzPd3-KTDEjeltIMZDP2TZdEmlcWvnWuFvzBBH43u3IuDZb1WZf62aE5dkpX_C_l2n5G3vdqM4NLfc2yZzdK2ahMXQKZ85y/s1600/Sholat+Berjamaah+di+Shadr+City+-+Irak.jpg

"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah SWT supaya kamu mendapat rahmat." (al-Hujurat [49] : 10). Ayat ini merupakan legitimasi persaudaran Islam supaya tidak sampai terpecah belah.


Abu Ayyub al-Anshary meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak seorang Muslim memutuskan silaturahim dengan saudara Muslimnya lebih dari tiga malam yang masing-masingnya saling membuang muka bila berjumpa. Yang terbaik di antara mereka adalah yang memulai mengucapkan salam kepada yang lain." (HR Bukhari dan Muslim).

Persaudaraan yang dimaksudkan adalah bukan menurut ikatan geneologi, tapi menurut ikatan iman dan agama. Hal tersebut diisyaratkan dalam larangan Allah SWT mendoakan orang yang bukan Islam setelah kematian mereka. Firman Allah SWT : "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman meminta ampun (kepada Allah SWT) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kerabatnya ..." (at-Taubah [9] : 113).

Ini sama sekali tidak berarti bahwa seorang Muslim diizinkan mengabaikan ikatan keluarganya walaupun dengan kerabat non-Muslim. Dasar kebajikan kepada orang tua dan keluarga dapat ditemukan dalam Alquran sendiri. Firman Allah SWT : "Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua ibu bapaknya ...." (QS al-Ankabut [29]: 8 ).

Mengutamakan persaudaraan Islam lebih dari yang lain sama sekali tidak memengaruhi ikatan darah, biarpun dengan kerabat non-Muslim. Nabi SAW menekankan pentingnya membangun persaudaraan Islam dalam batasan-batasan praktis dalam bentuk saling peduli dan tolong-menolong. Sebagai contoh, beliau bersabda, "Allah SWT menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya." (HR Muslim).

Tidak pada tempatnya seorang Muslim yang mengharapkan belas kasih khusus dari Allah SWT jika ia tidak memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan Muslim lainnya. Sebagai akibatnya, persaudaraan kaum Muslim tidak saja merupakan aspek teoretis ideologi Islam, tapi telah terbukti dalam praktik aktual pada kaum Muslim terdahulu (salaf) ketika mereka menyebarkan Islam ke penjuru dunia.

Ke manapun orang-orang Arab Muslim pergi, apakah itu ke Afrika, India, atau daerah-daerah terpencil Asia, mereka akan disambut hangat oleh orang-orang yang telah memeluk Islam tanpa melihat warna kulit, ras, atau agama lamanya. Tidak ada tempat dalam Islam bagi pemisahan kelas maupun kasta.

Tata cara melaksanakan shalat tidak ada tempat istimewa, dan semua harus berdiri bahu-membahu dalam baris-baris lurus. Demikian pula dalam pemilihan imam (pemimpin shalat) tidak didasarkan status sosialnya dalam masyarakat, namun atas kemampuannya dalam menghafal Alquran. Maka, mulai saat ini rekatkanlah kohesivitas sosial, khususnya di kalangan umat Islam.
Continue Reading... Label:


”INDONESIA YANG MEPERIHATINKAN”

0 komentar


 Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun perlu diingat proklamasi di sini, bukanlah puncak monumental perjuangan revolusi fisik melawan penjajahan semata. Ia adalah sebuah jembatan emas menuju kesempurnaan masyarakat. Proses pembangunan yang kita kerjakan selama ini, pada dasarnya adalah upaya untuk mencapai kesempurnaan masyarakat. Lalu apa yang dapat kita pelajari setelah 63 tahun perjalanan panjang bangsa ini? Apakah kita telah di jalur yang tepat? Di bandingkan dengan Negara-negara lain di Asia, Indonesia relatif lebih awal merdeka. Pada periode pertengahan tahun 1960-an pendapatan perkapita Negara di Asia nyaris sama, antara 50 100 USD. Lalu apa yang terjadi 40 tahun kemudian? Pendapatan perkapita kita hanya sekitar 1.200 USD. Malaysia 4 kali lebih besar. Korea Selatan 13 kali lipat di depan. Thailand 2 kali lebih besar. Bahkan, China yang baru bangkit setelah era Deng Xiaoping, akhir dekade 70-an, telah tumbuh menjadi 1,4 kali kita. Kita kian terlempar ke belakang.
Keterpurukan Indonesia saat ini, harus mampu kita refleksikan guna merentas jalan ke depan. Lalu darimanakah kita harus memulai? Babak awal perjalanan bangsa Indonesia, tahun 1945-1968, ditandai oleh pertarungan ideologi yang sangat keras. Aliran nasionalis, komunis dan kelompok agama saling bertarung untuk merebut posisi politik. Lalu, apa yang terjadi? Konstitusional gagal membentuk konstitusi. Pemberontakan terjadi dimana-mana. Partai-partai dan kelompok kepentingan saling bertarung, hingga meneteskan darah anak bangsa sendiri. Pada akhirnya doktrin “Poltik sebagai panglima” dianggap gagal membawa bangsa Indonesia menuju kesejahteraan.
10 tahun setelah reformasi, periode 1998-2008, bangsa Indonesia berada di era transisi. Indonesia mulai mencari bentuk baru. Konstitusi, sistem politik, ekonomi, hukum, dan birokrasi terus dirombak untuk mencari bentuk ideal. Namun, ada sebuah titik penting yang nyaris kita lupakan, yaitu budaya. Mengapa budaya menjadi sangat penting?
Proklamator kita, Soekarno pernah berkata “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Lalu, kebijaksanaan apakah yang dapat kita pelajari dari sejarah untuk kemajuan Indonesia ke depan? Untuk itu, ada baiknya kita belajar dari kisah perjalanan peradapan besar yang mendominasi dunia.namun pertanyaan yang sangat besar sekali yang harus kita jwab bersama-sama bagaimana kondisi bangsa kita sekarang ini sudah sesuaikah dengan harapan kita, coba kita meliah sedikit saja apa yang terjadi sekarang dalam negara kita.
Akhir-akhir ini banyak sekali persoalan-persoalan yang melanda negara kita baik itu dalam kenegaraan maupun sosial msyarakat pada umumnya hal ini membuat bangsa kita menjadi stagnasi yan berdampak sistemik pada struktural kenegaraan yang paling dasar sekali dirasakan oleh sosial msyarakat pada umumnya, sehingga pengembangan otonomi kedaerahan yang seharusnya itu Bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menopang roda perekonomian masyarakat menjadi lebih  baik seperti yang diinginkan negara tidak bisa terjadi.
Perbincangan masalah politik,ekonomi dan kekuasaan masing-msing untuk mendapatkan jabatan strategis dalam sesuatu kursi yang di inginkan itu sudah tidak menjadi hal yang tabu dalam negara kita indonesia, sampai-sampai melupakan hal yang sangat substansial sekali untuk diperhatikan  dan mencari pemecahan masalahnya contoh kecilnya saja angka kemiskinan dan pengangguran dalam negara kita itu masih sangat tinggi dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang itu membutuhkan perhatian yang lebih serius dari pejabat dinegara ini bukan lantas kita tidak mau tau dengan kondisi bangsa kita saat ini, degradasi itu terjadi karena pemerintah lebih cenderung memikirkan kepentingan diri-sendiri dari pada kepentingan msyarakat.
Baru saja media memberitakan persoalan politik yang ada di tubuh PSSI yang tak kunjung selesai dengan berbagai macam masalah yang teradi antara nurdin halid dengan menpora andi malarangen yang yang keduanya ini memliki arah  dan kepetingan politis yang berbeda dan kemauan yang berbeda pula sehingga sampai sekarang hal itu masih menjadi perhatian masyarakat, sepekan yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang kerap di panggil dengan sebutan SBY juga sempat menyita perhatia publik sampai bekelanjutan dengan isu reshufle kabinet  yang masih butuh pertimangan dari partai kolaisinya dan hubungan koalisi yang kurang sehat ditubuh parpol demokrat dengan golkar dan juga PKS yang sempat dikabarkan juga akan mengkahiri koalisi yang dibngun selama kurang lebih satu 1,5 SBY menetapkan koalisi tersebut, dari kedua fenomena politik yang terjadi yang kami uraikan diatas  tanpa  kita sadari bahwa hal tersebut telah membuat kita menjadi ingklud dalam masalah tersebut sehingga hal itu semakin membuat tatanan birokrasi hancur dan berdampak sistemik dalam negara kita yang membuat kita semakin tersigkirkan dari tatanan tersebut sampai dengan apa yang kita rasakan saat ini.
Apa yang harus kita lakukan sebagai kader HMI mampukah kita memperjuangkan amanah yang diberikan bangsa kepada insan akdemis seperti kita?????????
Oleh : Muhammad Holiq “Bendum” HMI Kom.Sunan Ampel
Continue Reading... Label: ,


Belajar dari Ki Hajar Dewantara

0 komentar

Saat ini dalam kehidupan kampus kita melihat bagaimana sebagian besar mahasiswa kurang antusias dalam setiap kegiatan yang di selenggarakan di kampus baik sebagai panitia maupun menjadi pesertanya. Maka akan timbul pertanyaan bagaimana ya untuk dapat menggerakan mahasiswa-mahasiswa tersebut agar dapat meningkat tingkat partisipasinya.

Kita tidak perlu membolak-balik buku Henry Fayol tentang manajemen atau para peneliti asing lainnya. Sudah saatnya kita menjunjung tinggi nilai kearifan lokal. Dapat kita lihat apa yang pernah diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Yakin nih kita bisa menggerakkan mahasiswa dengan 3 kalimat yang mungkin bagi setiap anak muda jaman sekarang adalah sekumpulan kalimat yang jadul, ketinggalan jaman, kampungan dan lain sebagainya. Ya , kalimat ini akan terasa kampungan apabila kita tidak memaknai setiap kalimat ini dan membiarkannya ter-onggok dengan bahasa daerahnya itu.
Dari pengalaman saya yang masih sedikit ini saya melihat sebenarnya ada tiga tipe yang bisa membuat atau dapat menggerakkan tingkat partisipasi mahasiswa dalam setiap kegiatan kampus dan ini menjadi tanggung jawab para pemimpin mahasiswa.
Pertama, ada tipe mahasiswa yang akan bergerak ketika diberi contoh atau di beri teladan, artinya mahasiswa ini akan bergerak atau ikut berpartisipasi, apabila melihat orang yang ia teladani pun ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan di kampus.
Kedua, ada tipe mahasiswa yang akan berpartisipasi apabila di beri motivasi bahwa setiap kegiatan itu penting, penting bagi dirinya, lingkungannya bahkan penting bagi setiap orang.
Ketiga, ada tipe mahasiswa yang baru akan bergerak ketika dia di dorong-dorong terus atau sedikit di paksa baru dia mau bergerak.

Jika kita mengaitkan dengan apa yang dikatakan oleh ki hajar dewantara yaitu sebagai berikut:
Pertama, ing ngarso sung tulodo. Kalimat ini bermakna berdiri didepan memberikan teladan, hal ini memang sangat diperlukan oleh seorang pemimpin. Dapat dimaknai bahwa sesungguhnya setiap apa yang dilakukan oleh pemimpin itu akan di contoh oleh para pengikutya, dalam hal ini maka pemimpin ketika berada di depan seharusnya memberikan teladan yang baik kepada para pengikutnya bukan memberikan contoh-contoh yang tidak baik.
Kedua, ing madyo mangun karso, artinya berdiri di tengah memberikan motivasi. Dapat dikatakan bahwa pemimpin itu harus dapat memotivasi para pengikutnya untuk melakukan sesuatu dengan ikhlas. Terus memompa semangat orang-orang yang dipimpin nya sehingga tidak kendur dalam berjuang melakukan sesuatu.
Ketiga, tut wuri handayani, memiliki makna berdiri di belakang memberikan dorongan, yaitu dorongan untuk maju agar masyarakat yang dipimpinnya tidak terlena dalam kemapanan semu. Memberikan dorongan untuk terus maju, maju dan maju.
Semuanya merupakan makna sederhana yang saya ambil dari ketiga kalimat sakti ini,dan hal ini pula lah yang saya pikir dapat menjadi sebuah alat untuk menggerakkan kembali pergerkan mahasiswa, serta ketika saya coba lihat dan mengklasifikasikan keadaan situasi kondisi masyarakat kita,jika 3 kalimat ini bisa di maknai pula oleh para calon pemimpin bangsa maka akan menjadi modal dasar untuk mencapai NUSANTARA JAYA.
Continue Reading... Label: , ,


Peran Mahasiswa Muslim Dalam Menyikapi Liberalisme

1 komentar

Peran serta mahasiswa dalam menyikapi kemungkaran sangatlah penting. Mahasiswa merupakan kader muda yang kelak posisinya akan menggantikan para pemimpin untuk merubah peradaban yang sudah ada saat ini menjadi peradaban yang lebih baik. Mahasiswalah generasi intelektual yang kelak merubah peradaban kufur menjadi peradaban Islam. Mengembalikan kehidupan masyarakat sesuai dengan fitrahnya, yakni kehidupan yang sesuai dengan ketentuan syariah. Allah memerintahkan kaum intelektual ini untuk bertaqwa. Kaum intelektual adalah kaum yang berakal. Allah berfirman : “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal” (QS. al-Baqarah : 197).
Kemerosotan berfikir dan malasnya umat untuk berfikir menjadikan dakwah Islam hanya sebatas ibadah ritual. Sebagian para pengemban dakwah baik dari kalangan mahasiswa maupun kaum cendikiawan, membatasi aktivitas dakwahnya hanya membahas seputar masalah ibadah, sehingga aqidah Islam terlihat seperti agama ritual saja, yang mengatur shalat, zakat, puasa dan haji. Islam yang sempurna ini terlihat tidak ada bedanya dengan agama-agama lain yang sekedar membahas masalah-masalah ritual. Padahal aqidah Islam bukan hanya aqidah yang menjadi dasar pengaturan urusan akhirat saja, tetapi juga menjadi dasar pengaturan urusan dunia, seperti urusan pemerintahan, pedidikan, ekonomi, hukum, sosial, perindustrian dan lain-lain. Dengan kemerosotan berfikir umat itu pula muncullah pergerakan-pergerakan liberal di berbagai tempat. Gerakan liberal muncul karena paham sekularisme. Sekulerisme yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan masyarakat dan negara. Paham ini lahir dari ideologi Kapitalisme yang diusung oleh negara kufur Barat. Ideologi Kapitalisme dalam aplikasinya bersumber dari akal manusia yang sangat terbatas. Mereka hidup bermasyarakat dengan aturan yang mereka buat sendiri, sehingga perbuatan yang mereka lakukan serba bebas (liberalisme), baik dalam permasalahan aqidah, maupun dalam hal kebebasan berpendapat, kebebasan pribadi, kebebasan kepemilikan dan kebebasan pemikiran. Dengan munculnya paham liberalisme inilah peradaban semakin rusak, aqidah umat makin terpuruk, tindak kriminal meningkat tajam, kemungkaran terjadi di mana-mana. Lalu, adakah mahasiswa muslim sebagai generasi intelektual muda umat ini yang peduli dengan kenyataan ini? Bergeraklah kailan mahasiswa! Allah berfirman : “Apabila kalian menolong agama Allah, maka (pasti) Allah akan memberi kalia kemenangan” (QS. Muhammad : 7). “Dan tidaklah kemenangan itu melainkan dari sisi Allah yang Maha Agung lagi Maha Bijaksana” (QS. Ali-Imran : 126).
Hal penting yang menjadi tugas suci mahasiswa muslim untuk mengamban Islam dan membongkar keburukan-keburukan liberal adalah berdakwah, berdakwah dan berdakwah. Tidak ada cara lain selain berdakwah untuk memahamkan umat akan kufurnya paham liberalisme. Akibat dari mengakarnya liberalisme, khususnya kebebasan dala pemikiran, maka muncullah beragam pemikiran yang menyesatkan. Lahirnya demokrasi, nasionalisme, pluralisme dan lain-lain tidak lepas dari strategi kafir Barat untuk mencampakkan Islam sejauh-jauhnya dari ruh umat Islam. Tidaklah mengherankan jika kaum liberal ini mengadakan gerakan “Desakralisasi Al-Quran”. Desakralisasi adalah “proses penidaksucian”. Seperti yang disebutkan dalam jurnal bernama Justisia yang diterbitkan di IAIN Semarang edisi 23 Th.XI, yang menulis di sampul belakangnya : “Adakah Sebuah Objek Kesucian Dan Kebenaran Yang Berlaku Universal? TIDAK ADA! Sekali Lagi TIDAK ADA! Tuhan Sekalipun!”. Munculnya pergerakan-pergerakan liberal ini, mengawali periode kemungkaran, karena kemungkaran makin menjamur dan terjadi di mana-mana sedangkan sunnah semakin terkikis di hati ummat.
Pemikiran-pemikiran menyimpang sudah menjadi opini umum. Hal ini menjadi sebuah hal yang wajar terjadi karena memang di sekolah-sekolah di negara ini di dukung oleh pemerintahan sekuler untuk menggunakan kurikulum sekularisme yang mengajarkan demokrasi, patriotisme, nasionalisme, emansipasi, persamaan gender, kebebasan berpendapat dan lain-lain yang kesemuanya sangat bertentangan dengan Islam. Ingatlah bahwa yang dimaksud kemungkaran adalah setiap pemikiran, ucapan, maupun perbuatan, yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Kemungkaran bisa terjadi pada diri individu, keluarga, masyarakat bahkan negara. Namun saat ini secara sadar maupun tidak sadar, makna kemungkaran sudah mengalami penyempitan. Sehingga maknanya cenderung diartikan sebagai tindakan kriminal individu ataupun kelompok. Kemungkaran saat ini dimaknai sebatas aktivitas-aktivitas seperti mencuri, membunuh, menipu, berjudi, korupsi, riba dan lain sebagainnya. Penyempitan makna kemungkaran terjadi sejak melemahnya Khilafah Islamiyah sampai saat ini. Hal ini tidak terlepas dari sebab kemerosotan taraf berfikir umat. Inilah tanggung jawab mahasiswa muslim dan tidak menutup tanggungjawab setiap muslim untuk kembali meningkatkan taraf berfikir umat agar makna kemungkaran sesuai dengan makna yang dimaukan oleh syariat, yakni setiap pemikiran, ucapan, maupun perbuatan, yang tidak sesuai dengan syariah Islam.
Tepat sekali kiranya hadits Rasulullah SAW yang menceritakan akan keadaan keterasingan Syariah Islam ini. Rasulullah barsabda, “Islam bermula dalam keadaan asing, dan ia akan kembali asing seperti keadaan semula. Maka berbahagialah al-ghuroba’. (HR. Muslim). Siapakah al-ghuroba? Rasulullah menjawab. “Yaitu orang-orang yang berusaha memeperbaiki sunnahku yang telah dipadamkan oleh manusia sepeninggalanku”. (HR. Tirmidzi).
Kemungkaran sudah tidak lagi dianggap kemungkaran. Salah satu contoh kemungkaran yang tidak dianggap sebagai kemungkaran adalah kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah yaitu mengadopsi, menerapkan, dan menyebarluaskan sistem demokrasi. Padahal kita tahu bahwa sistem demokrasi bertentangan dengan syariah Islam, karena Kredo demokrasi mengatakan, “suara rakyat adalah suara tuhan (vox populei vox dei)”, dan hal ini bertentangan dengan syariah Islam yang menyatakan bahwa, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al-An’am: 57). Dalam Islam kekuasaan legislatif hanyalah milik Allah semata, bukan milik manusia. Tapi apa yang terjadi dengan pemimpin negara ini, kaum cendikiawannya, atau bahkan sebagian mahasiswa sekalipun? Mereka menerima, mendukung dan memperjuangkannya. Ini sesuatu yang wajar ketika negara ini berdiri di atas ideologi sekularisme.
Menyingkirkan syariat Allah dan mengantinya dengan undang-undang buatan sendiri karena dianggap sudah tidak relevan untuk negara yang beranek ragam agama, sudah dianggap bukan merupakan bentuk kemungkaran. Syariat Islam hanya diadopsi sedikit dalam beberapa permasalahan saja, seperti dalam urusan pernikahan. Apakah kita mengira bahwa Allah akan memakluminya?
Continue Reading... Label: , ,


Pemerintahan Islam

0 komentar

Pemerintahan Alternatif Dalam Perspektif Islam
Menurut makna bahasa, kata al hukmu bermakna al qadla’ (keputusan). Sedangkan kata al haakim bermakna munaffidzul hukmi (pelaksana keputusan atau pemerintahan). Adapun menurut istilah, kata al hukmu maknanya adalah sama dengan kata al mulku dan as sulthan. Yaitu, kekuasaan yang melaksanakan hukum dan aturan. Juga bisa disebut dengan aktifitas kepemimpinan yang telah diwajibkan oleh syara’ atas kaum muslimin. Aktifitas kepemimpinan ini merupakan kekuasaan yang dipergunakan untuk menjaga terjadinya tindak kedzaliman serta memutuskan masalah-masalah yang dipersengketakan. Atau dengan ungkapan lain, kata al hukmu juga bisa disebut wilayatul amri. Sebagaimana dalam firman Allah:
“Taatilah Allah, dan taatilah rasulullah, serta ulil amri (para pemimpin) di antara kalian.” (Q.S. An Nisa’: 89)
“Dan kalau seandaianya mereka mengembalikan masalah itu kepada Rasulullah serta kepada ulil amri (para pemimpin) di antara mereka.” (Q.S. An Nisa’: 47)
Jadi, para pemimpin itulah yang esensinya melaksanakan pelayanan terhadap urusan-urusan umat secara langsung.
Sebagai sebuah ideologi bagi negara, masyarakat serta kehidupan, Islam telah menjadikan negara beserta kekuasaannya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Dimana Islam juga telah memerintahkan kaum muslimin agar mendirikan negara dan pemerintahan, serta memerintah dengan hukum-hukum Islam. Berpuluh-puluh ayat Al Qur’an yang menyangkut masalah pemerintahan dan kekuasaan telah diturunkan. Dimana ayat-ayat tersebut memerintahkan kaum muslimin agar menerapkan pemerintahan dengan berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Allah berfirman:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Q.S. Al Maidah: 48)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Q.S. Al Maidah: 49)
“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al Maidah: 44)
“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” (Q.S. Al Maidah: 45)
“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Al Maidah: 47)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. An Nisa’: 65)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya serta ulil amri (para pemimpin) di antara kamu.” (Q.S. An Nisa’: 59)
“Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan cara yang adil.” (Q.S. An Nisa’: 48)Dan masih berpuluh-puluh ayat yang lain, yang menyangkut masalah pemerintahan dari segi pemerintahan dan kekuasaan itu sendiri. Disamping itu, banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan pembahasan pemerintahan secara detail. Bahkan, ada ayat-ayat yang membahas tentang hukum perang, politik, pidana, kemasyarakatan, hukum perdata dan lain-lain. Allah SWT. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan itu ada padamu.” (Q.S. At Taubah: 123)
“Jika kamu menemukan mereka dalam peperangan, maka cerai-beraikanlah orang-orang yang ada di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. Dan jika kamu khawatir akan terjadinya penghianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” (Q.S. Al Anfal: 57-58)
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dengan bertawakkal kepada Allah.” (Q.S. Al Anfal: 61)
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Q.S. Al Maidah: 1)
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang batil dan (janganlah) kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah: 188)
“Dan dalam qishas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal.” (Q.S. Al Baqarah: 179)
“Laki-laki dan perempuan yang mencuri. potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (Q.S. Al Maidah: 38)
“Dan jika mereka menyusui (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (Q.S. At Thalaq: 6)
“Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya.” (Q.S. At Thalaq: 7)
“Ambilah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan.” (Q.S. At Taubah: 103)
Dan demikianlah, kita senantiasa akan menemukan garis-garis besar undang-undang perdata, kemiliteran, pidana, perpolitikan, serta mu’amalah dengan jelas di dalam beratus-ratus ayat Al Qur’an. Disamping banyak hadits shahih –yang menjelaskan hal-hal yang serupa– bertebaran. Dimana kesemuanya itu diturunkan berkaitan dengan suatu keharusan untuk menjalankan serta menerapkan kekuasaan berdasarkan garis-garis besar tersebut. Bahkan, semuanya itu telah berhasil diterapkan dalam kehidupan yang sesungguhnya pada masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, serta penguasa-penguasa Islam sepeninggal beliau. Kenyataan ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Islam memiliki sistem pemerintahan dan kenegaraan, serta sistem yang bisa menjamin keberlangsungan masyarakat, kehidupan, umat serta individu-individunya. Sebagaimana Islam telah menunjukkan bahwa negara tidak akan begitu saja memerintah sebuah pemerintahan, melainkan dengan sistem Islam. Dimana Islam tidak akan pernah terlihat kecuali kalau Islam hidup dalam sebuah negara yang menerapkan hukum-hukumnya.
Maka, Islam adalah agama dan ideologi, dimana pemerintahan dan negara adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Negara adalah thariqah (tuntunan operasional) satu-satunya yang secara syar’i dijadikan oleh Islam untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukumnya dalam kehidupan secara menyeluruh. Dimana Islam tidak akan tampak hidup, kalau tidak ada sebuah negara yang menerapkannya dalam segala hal. Inilah negara dengan sistem perpolitikan yang sangat manusiawi, bukan negara ketuhanan (otokrasi) dengan sistem pendewaannya. Juga bukan negara yang memiliki sifat takdis apapun, begitu pula kepala negaranya tidak memiliki kema’suman –sebagaimana layaknya seorang Nabi dan Rasul.
Dan sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang menjelaskan bentuk, sifat, dasar, pilar, struktur, asas yang menjadi landasan, pemikiran, pemahaman, serta standar-standar yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, serta undang-undang dasar dan perundang-undangan yang diberlakukan.
Dialah sistem yang khas dan sama sekali lain bagi sebuah negara yang unik, yang berbeda dengan semua sistem pemerintahan manapun yang ada di dunia dengan perbedaan yang mendasar. Baik dari segi asas yang dipergunakan sebagai landasan sistem tersebut, atau dari segi pemikiran, pemahaman serta standar yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, atau dari segi bentuk yang terlukis dari sana, maupun undang-undang dasar serta perundang-undangan yang diberlakukannya.
Continue Reading... Label: , ,


Belajar Memahami Diri Sendiri

0 komentar

Kita teramat sering diajar bagaimana memahami kemiskinan orang lain (kurang materi), maka muncul banyak badan amal, yayasan sosial, dompet dhuafa, rekening siyatim, dsb, dlsb. Tetapi kemelaratan bukan berkurang dari negeri ini, bahkan makin memprihatinkan. Negeri yang katanya bak ratna mutu manikan, zamrud di katulistiwa, sumringah dengan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah.

Kita juga kadang dinasehati belajar memahami kesulitan hidup orang lain (kurang pintar), maka berjubelah lembaga sekolah, pesantren, kursus kilat; dan mereka yang turut prihatin, dengan lembaga bantuan hukumnya, LSMnya, simpatisannya, dll, dlsb. Tetapi sayang negeri ini tidak pernah sepi dari jerit sayat ketertindasan. 

Kita kerap dibuat kasihan dengan orang yang cacat jasmani dan mental rohani (kurang sempurna), maka hadir pula sekolah untuk mereka (SLB), solidaritas komunitas penyandang cacat ini cacat itu, menyisihkan sedikit recehan kocek untuk pengemis cacat. Ironisnya kita tidak pernah sungguh-sungguh melahirkan sistem yang cukup baik guna menghindarkan terjadinya insiden cacat jasmani/mental rohani yang lebih parah. Lihat korban tsunami, KDRT, musibah transportasi, dan kecelakaan traumatik lainnya.

Nah, yang berikut ini sayangnya, bahkan sayang sekali.

Teramat jarang kita diajar memahami kesalahan(kalau yang ini istilahnya: kurang benar) orang lain , maka yang lahir adalah saling menyalahkan, merasa diri sendiri benar salahnya punya orang lain, bahkan sudah sampai dalam bentuk umpatan, cacian, hajatan, unjuk rasa anarkis.

Tak jarang kita memanfaatkan /memaafkan kesalahan seseorang tapi menggosipinya di tempat lain, dengan kesalahan lain, pada orang lain, dan lain-lain.

Teramat sering kita dinasehati dan menasehati, diceramahi dan menceramahi, didoktrin dan diminta mendoktrinisasi orang lain untuk tidak berbuat kesalahan terlebih mengulanginya. Tetapi semua itu jarang membuat kita memahaminya lalu memaklumkan ke orang lain kenapa sebuah kesalahan sampai terjadi.
Begini saja (saya bukan penulis yang baik, mood tentang topik ini mau menguap, cepat saja saya goreskan kesimpulannya, nanti dikembangkan di lain waktu/tulisan).

Seandainya kita sampai menyalahkan bahkan sudah menghujat perbuatan seseorang, misalnya telah: korupsi, kolusi, nepotisme, amoral, asusila, asosial, ax, ay, az, axyz, bahkan sudah ke stadium analgaksih (gak merasakan sih dan menyadari sedikitpun kesalahannya, semacam analgesic, tahap tidak merasakan sakit).

Tidakkah kita coba lebih dulu berempati: Bagaimana seandainya kita berada dalam posisi mereka? Maka semua hal (bayangkan) harap kita jalani, mulai dari: latar belakang hidup mereka, sikon, kecenderungan, proses, stimulus dan godaan, intrik dan ancaman , potensi dan ketidakmampuan, pokoknya semua apa saja yang berakumulatif menyebabkan terjadinya sebuah kesalahan; pertanyaannya : apakah kita tidak akan melakukan hal yang sama?

;Okey, kalau kita berdalih untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu(kesalahan), semua tergantung pada pribadi seseorang; maka sekalian saja kita berempati ke aspek itu. Seandainya (jadi bukan saja keadaan) kita punya kepribadian yang sama, karena toh hidup kita coba (tukar nasib nih, yee) dengan semua latar belakang yang menjadikan mereka berkepribadian seperti apa, masih juga kita tidak akan melakukan hal yang sama?

Pada akhirnya, kita hanya perlu merasa bersyukur, bahwa kita tidak dikondisikan dengan semua hal yang menjadikan kita melakukan kesalahan yang sama dengan mereka, termasuk tidak sampai memiliki pribadi yang kurang (terlantar) sehingga tidak mampu menolak melakukan kesalahan tersebut.

Kalau cuma punya rasa syukur karena tidak ditakdirkan dalam posisi itu, sesungguhnya ada apa dengan kita, sampai kerjaannya cuma bisa menghujat kesalahan seseorang. Pada hal dengan keberuntungan kita itu, mumpung dalam posisi yang “sempat baik, dan benar”; coba kita perjuangkan sebuah sistem yang bisa meminimalisir orang dari kurang materi, kurang(ajar?) pintar, kurang sempurna, terlebih kurang benar!
Jadi tidak cuma mencari kesalahan, tapi juga mau memahaminya, terus memperbaikinya, dan yang lebih penting menciptakan semua hal (sistem) yang kondusif bisa membenahi kesalahan tersebut!

Bagaimana?
Continue Reading... Label: ,


Negeri Lolucon.. Yaa Indonesia..!!!

0 komentar

DI manakah negeri tempat terdakwa penggelapan pajak leluasa keluyuran ke mancanegara? Di manakah pula tersangka atau terdakwa bisa menjadi kepala daerah?
Jawabnya, di negeri lelucon bernama Indonesia, tempat hukum bisa dipermainkan semaunya. Inilah negeri tempat penyelenggaraan negara berlangsung suka-suka, seperti main-main.
Lelucon paling mutakhir adalah pelantikan Jefferson Rumajar, terdakwa kasus korupsi yang tengah mendekam di penjara Cipinang, sebagai Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara.
Jefferson didudukkan ke kursi pesakitan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika seseorang dijadikan tersangka oleh KPK, bisa dipastikan dia akan menjadi terdakwa dan kemudian terpidana. Sebab, bukankah KPK tak punya wewenang menghentikan penyidikan perkara korupsi sebagaimana kepolisian atau kejaksaan?
Akan tetapi, pemerintah tetap melantiknya karena statusnya masih terdakwa, alias belum berkekuatan hukum tetap sebagai terpidana. Ditilik dari prinsip asas praduga tak bersalah, ia berhak menjadi kepala daerah.
Begitulah, Jefferson tetap dilantik menjadi kepala daerah atas dasar akal-akalan terhadap hukum positif.
Maka, bertambahlah jajaran kepala daerah yang menyelenggarakan pemerintahan daerah dari balik jeruji penjara. Bahkan, Jefferson dengan gagah perkasa melantik sejumlah pejabat Kota Tomohon di LP Cipinang. Celakanya negaralah yang memfasilitasi berlangsungnya lelucon itu.
Hukum positif rupanya tidak mengenal rasa malu. Menjadi pejabat pun rupanya tidak memerlukan rasa malu. Buktinya, pejabat Kota Tomohon tidak malu dilantik oleh seorang terdakwa, dan tidak malu dilantik di dalam penjara.
Pelantikan Jefferson jelas merupakan ironi demokrasi. Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu.
Partai politik menyumbang andil yang besar. Sebab, alih-alih melakukan pendidikan politik agar rakyat memilih kepala daerah yang jujur, parpol lebih berkonsentrasi merebut kekuasaan untuk memenangkan calonnya, termasuk dengan cara menghalalkan politik uang.
Bukannya melakukan pendidikan politik, partai politik plus kandidat kepala daerah yang diusungnya, malah melakukan pembodohan politik kepada rakyat.
Itulah sebabnya banyak tersangka terpilih sebagai kepala daerah atau kepala daerah terpilih yang kemudian menjadi tersangka. Sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka.
Jika tetap berpegang pada teks hukum positif, bakal bertambah tersangka atau terdakwa yang dilantik sebagai kepala daerah.
Itu artinya negeri ini masih akan menjadi negeri lelucon, entah sampai kapan. Dan, dunia pun tertawa.
Continue Reading... Label: , ,


 
Return to top of page Copyright © 2010 | Flash News Converted into Blogger Template by HackTutors