"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah SWT supaya kamu mendapat rahmat." (al-Hujurat [49] : 10). Ayat ini merupakan legitimasi persaudaran Islam supaya tidak sampai terpecah belah.
Abu Ayyub al-Anshary meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak seorang Muslim memutuskan silaturahim dengan saudara Muslimnya lebih dari tiga malam yang masing-masingnya saling membuang muka bila berjumpa. Yang terbaik di antara mereka adalah yang memulai mengucapkan salam kepada yang lain." (HR Bukhari dan Muslim).
Persaudaraan yang dimaksudkan adalah bukan menurut ikatan geneologi, tapi menurut ikatan iman dan agama. Hal tersebut diisyaratkan dalam larangan Allah SWT mendoakan orang yang bukan Islam setelah kematian mereka. Firman Allah SWT : "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman meminta ampun (kepada Allah SWT) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kerabatnya ..." (at-Taubah [9] : 113).
Ini sama sekali tidak berarti bahwa seorang Muslim diizinkan mengabaikan ikatan keluarganya walaupun dengan kerabat non-Muslim. Dasar kebajikan kepada orang tua dan keluarga dapat ditemukan dalam Alquran sendiri. Firman Allah SWT : "Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua ibu bapaknya ...." (QS al-Ankabut [29]: 8 ).
Mengutamakan persaudaraan Islam lebih dari yang lain sama sekali tidak memengaruhi ikatan darah, biarpun dengan kerabat non-Muslim. Nabi SAW menekankan pentingnya membangun persaudaraan Islam dalam batasan-batasan praktis dalam bentuk saling peduli dan tolong-menolong. Sebagai contoh, beliau bersabda, "Allah SWT menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya." (HR Muslim).
Tidak pada tempatnya seorang Muslim yang mengharapkan belas kasih khusus dari Allah SWT jika ia tidak memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan Muslim lainnya. Sebagai akibatnya, persaudaraan kaum Muslim tidak saja merupakan aspek teoretis ideologi Islam, tapi telah terbukti dalam praktik aktual pada kaum Muslim terdahulu (salaf) ketika mereka menyebarkan Islam ke penjuru dunia.
Ke manapun orang-orang Arab Muslim pergi, apakah itu ke Afrika, India, atau daerah-daerah terpencil Asia, mereka akan disambut hangat oleh orang-orang yang telah memeluk Islam tanpa melihat warna kulit, ras, atau agama lamanya. Tidak ada tempat dalam Islam bagi pemisahan kelas maupun kasta.
Tata cara melaksanakan shalat tidak ada tempat istimewa, dan semua harus berdiri bahu-membahu dalam baris-baris lurus. Demikian pula dalam pemilihan imam (pemimpin shalat) tidak didasarkan status sosialnya dalam masyarakat, namun atas kemampuannya dalam menghafal Alquran. Maka, mulai saat ini rekatkanlah kohesivitas sosial, khususnya di kalangan umat Islam.
Posting Komentar